Monday, December 3, 2007

jangan lupakan AKAD ini...

Dengan segenap kemantapan jiwa pada raga
Yang kuucapkan dari kedalaman fikirku akan janji-Nya
Dengan mahar seperangkat alat kemenangan dan seribu dinar syahid fi sabilillah
Yang telah kupersiapkan di penjuru kamp Jenin
yang telah menunggumu di Ramallah yang berdebu
Yang telah terbungkus rapi di Al-Aqsho pada puing
Aku tak pernah ragu akan kesiapanmu
Sebab lantang suara qalbu telah kudengar
dari jejak-jejak doamu yang menggema di sepanjang malam tak berkesudahan
Aku tak pernah ragu dengan pilihanku
Sebab telah jelas Allah yang selalu melindungiku
Memberiku kemantapan pada istikharah Jalur Gaza dan sudut kota
Bahwa kau adalah calon mempelaiku
Dan akan serta hidupkan raga
Pada hentakan mortir di sudut kota
Pada lontar mesiu tank baja
Pada sumber api panas nyala
Kupinang engkau dan saksikanlah;
Bumi segera menyeruak memberi jalan

Tuesday, November 13, 2007

[kontemplasi]

Menatap gejolak yang meluap yang menghanguskan dan meluluhlantakkan dunia islam;
Ada yang harus dilakukan
Menyimak kedzaliman dan penindasan yang menimpa dan mencengkram dunia islam;
Ada yang harus dikerjakan
Bukan semata merenung, kemudian meneteskan air mata
Bukan semata menjerit atau bertakbir
Ada yang dilakukan adalah menyiapkan diri menjadi anak panah-anak panah yang siap dilepaskan
Atau peluru-peluru yang siap ditembakkan.
Atau tombak-tombak yang siap dilontarkan.
Atau pedang-pedang yang siap diayunkan.
Menyadari keangkuhan dan kesombongan yang mengangkangi dan menindas dunia islam;
Ada yang harus disiapkan
Keikhlasan diri, kebulatan tekad, kekuatan jasad dan keteguhan materi
Menyikapi kehancuran yang melanda dunia islam;
Di tengah kelesuan, kelemahan dan tidur panjang umat islam;
Langkah yang dilakukan harus penuh kesungguhan
Bukan semata bicara panjang lebar tanpa kerja yang nyata
Atau semata mengungkapkan kebobrokan namun dengan penuh ragu dan kecenderungan
Adalah memantapkan diri bahwa selembar jadwal bukan sekedar rencana kosong
Bahwa tiap goresan pena adalah kesungguhan
Dengan keprihatinan bahwa kesabaran adalah cambuk untuk menegakkan keadilan
Merenungi langkah yang harus dilakukan untuk masa depan dunia islam;
Ada yang harus ditegaskan
Kemantapan diri, kekuatan azzam, kemurnian asas, dan kejelasan tujuan

Sunday, October 21, 2007

Laki-laki dan air mata

Salah satu persangkaan yang banyak digunakan orang dan menjelma menjadi sebuah pandangan umum adalah tentang gambaran seorang laki-laki. Sosoknya dicitrakan sebagai makhluk yang perkasa, kuat, penuh ambisi untuk menaklukkan dunia. Hingga tak disisakan sedikitpun ruang untuk kehalusan rasa dan air mata. Bila benar demikian, bagaimana mungkin ia akan mampu mengemban amanah Allah swt yang dibebankan di kedua tangan dan pundaknya? Padahal, keperkasaan yang terkadang menjelma menjadi kegarangan, di suatu waktu atau peristiwa akan mengembun. Sebab, di kedalaman nuraninya tetap saja ada kelembutan yang bertahta.

Cengeng, banci dan gelaran lainnya akan segera tersemat di belakang mereka ketika diketahui bahwa mereka sering bahkan selalu menangis. Padahal, bukankah mereka juga manusia yang sama dengan perempuan? Sama-sama memiliki hati dan perasaan untuk mencerna semua masalah yang menghadang di depannya? Lalu kesalahannya dimana?

Jika tangisan atau air mata itu menderas untuk sebuah kekecewaan, kesia-siaan, patah semangat tanpa keinginan untuk bangkit lagi, atau bukan di jalan Allah swt, julukan seperti di atas mungkin (sekali lagi mungkin) bisa dialamatkan kepada laki-laki. Namun bagaimana kita memaknai derasan air mata yang lahir dari kegundahan hati laki-laki yang melihat kondisi ummat ini masih saja terpuruk di lembah terdalam kejahiliyahan? Merasa belum berbuat maksimal untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan sana? Atau mata yang kaca kala mengingat belum sempurna kecintaannya kepada Sang Khaliq dan RasulNya yang mulia?

Bagaimana pula dengan isakan mereka di penghujung malam, kala mengingat dan menghitung-hitung dosanya di hari lalu, sementara jaminan syurga tak ada sedikitpun dalam genggaman? Mengenang keterpurukan nilai-nilai suci ISLAM yang tenggelam oleh ummatnya sendiri lantaran masing-masing bertahan dengan ego dan pemahaman jamaah tempatnya belajar mengkaji semuanya sementara usaha yang dilakukannya untuk menyatukan mereka hampir tak mendapat tempat sama sekali?

Bagaimana pula dengan rintihan tertahan para laki-laki yang belum juga mampu menyadarkan anak perempuan atau istrinya agar berhijab dengan sempurna? Atau kala mengetahui bahwa anaknya menjalin hubungan dengan seseorang yang bukan mahromnya dalam sebuah ikatan yang bukan pernikahan?

Ah, mungkin kita semua harus belajar membaca makna. Mencerna segala sesuatu dari kandungan isi tanpa tertipu penampilan luar. Untuk apa dan siapa air mata itu harus mengalir. Seperti tangisan Muhammad saw Sang Teladan. Padahal sejarah mencatat beliau sebagai seorang panglima perang yang paling cerdas di segala medan. Yang paling tegar di hadapan semua cobaan dan fitnah. Yang paling tegas di hadapan kaum kuffar. Namun, tetap saja matanya mengalirkan air kala bersujud di hadapan Rabbnya, atau kala mengingat semua ummatnya yang belum juga sempurna mengabdi pada Rabb Semesta Alam.

nb : inspired from akhwat bandung yang belakangan jadi teman diskusi lewat e-mail. afwan, belum izin. Mudah-mudahan ga keberatan.

Wednesday, October 10, 2007

Jelang fitri di akhir Ramadhan

Kesedihan yang wajar, saat sesuatu yang dicintai bergerak perlahan meninggalkan kita. Menjauh, dalam kebersamaan yang sangat singkat. Entah dengan kebersamaan seperti apa yang tertoreh dalam perjalanan selama bersama, jelasnya akan meninggalkan kenangan sendiri di suatu sudut jiwa. Apa yang disisakannya sebagai catatan sejarah, akan dibawa menghadap-Nya kelak sebagai bagian dari pertanggungjawaban desah nafas dalam rangkaian hari kehidupan.


Kerinduan yang akan menyeruak. Dalam banyak kenangan indah. Di keheningan malam dalam puncak tahajud, siang yang menyediakan beragam pilihan amal nyata kebaikan, bahkan dalam kesederhanaan berbuka dengan 2 kegembiraan tertinggi seperti yang telah dijanjikan Sang Maha Pengatur pergerakan seluruh alam raya.


Ramadhan memang telah di ambang gerbang akhir dalam perjalanannya membersamai kita. Sekejap, dalam hitungan jam pergerakan bulan di angkasa sana dia akan menuntaskan kunjungan rutinnya sekali dalam 12 purnama yang sempurna. Fitri menjelang, dalam syawal yang menjanjikan kemenangan atas perang melawan hawa nafsu.


TaqaBbalaLlahu miNna wa Minkum, Shiyaamana wa shiyaamukum. Semoga Allah SWT menerima semua ibadah puasa kita dan berkenan memasukkan kita dalam golongan orang yang bertakwa di hari kemenangan yang menggembirakan. Amiin Ya Rabbal 'Alamin

Thursday, October 4, 2007

rapuh....lagi?

Masih dalam pelataran hari. Mengeja semesta dalam rangkaian hijaiyyah amalan yang menggoreskan jutaan mimpi tanpa batas. Detik terus tertoreh, mempergilirkan gelap dan terang di ambang cakrawala. Lukisan malam masih ditaburi jutaan bintang, senada siang dengan terang mentari dengan putih cahayanya. Suka duka tetap beriringan, sebagai dua sunnatuLlah alam yang menjadi keharusan. Sepi, kembali hadir. Masih tetap dengan status sebagai teman sejati.

Lelah, keresahan melingkupi jiwa. Dalam derasan air mata, kembali sujud panjang menjadi pilihan. Lemah, rapuh dalam langkah kehidupan yang semakin menguras energi fisik dan jiwa. Kesetiaan, yang pernah terpatri azzam kembali terkhianati dengan lintasan pikiran yang meragukan. Cinta dalam hati, masih saja terkotori nafsu dan tahta keinginan yang jauh dari rahmat-Mu.

Maaf, belum juga sempurna cinta ini untuk harapan semata kasih sayang-Mu. Meskipun, mahabbah yang telah coba kuperbaharui dan kuluruskan semata di atas jalan-Mu tetap kuusahakan menjadi raja di atas segalanya.

Jauh, perasaan lemah ini kembali hinggap. Kotor, dalam kubangan dosa yang kembali menarik keinginan ini untuk merangkulnya dalam kesenangan sesaat. Maaf, aku kembali mengetuk di pintu-Mu. Aku semakin takut, apakah rukuk dan sujudku membekas rahmat dalam keridhoan-Mu. Aku ingin kembali dalam kehangatan pelukan-Mu, di sela taubat yang terucap lirih. Ampunilah dosa dan kesalahanku. Meskipun, dalam cinta dan taubat yang juga belum sempurna.

Kerinduan ini, kembali membuncah untuk suatu damba akan cinta-Mu. Meskipun dalam kekerdilan jiwa yang paling rapuh, aku sadar tak ada setitikpun nilai diri ini yang Engkau butuhkan. Saat seluruh penduduk langit dan bumi bersekutu untuk tidak menganggap diriMu sebagai Rabb, tetap saja tak mengurangi setitik dzarrahpun kemuliaan DzatMu. Sama halnya ketika kebalikannya yang berlaku.

Keinginan tinggi seperti pinta Abu Nawas, bahwa diri ini tak layak ke syurga-Mu,namun tak juga sanggup dan kuat jika dilempar ke neraka-Mu. Rabbi, tetaplah buka jalan lurus itu kepadaku. Sekali lagi, meski dengan cinta yang belum juga sanggup bermetamorfosis sempurna.

nb : aku tak ingin berada dalam barisan akhir rombongan keledai yang bahkan mereka pun tak ingin terjatuh dua kali dalam lubang/kesalahan yang sama

Tuesday, October 2, 2007

seperempat abad lebih setahun



Hey...
ke arah mana langkahmu sejauh ini?

Wednesday, September 12, 2007

Karena IA begitu INDAH ...

Ramadhan

Ada kesejukan dalam udara yang dialirkannya. Yang mengisi kekosongan rongga dengan kejernihan iman. Ada kesenyapan yang menentramkan, dalam sujud panjang di akhir malam sebagai nafilah, dengan kedudukan tinggi sebagai balasan. Ada kegembiraan tak terkira, saat dahaga tersegarkan waktu adzan magrib berkumandang. Atau kebersamaan yang hangat, kala duduk bersama dengan keluarga bersantap sahur dengan iringan kalam suci.

Terik siang menjadi sejuk, dengan tangan di atas. Berbagi dengan sang fakir dan miskin. Kata yang biasanya banyak tersia berganti pahala lewat alunan dzikir dan tilawah yang bercahaya. Senyum peneduh hati, menjadi hiasan hari dalam pergaulan. Nafsu teredam, hati tunduk. Dengan bayangan syurga di ambang tertinggi pengharapan.

Di sinilah, salah satu madrasah perjuangan kehidupan. Menempa kecemerlangan hati. Memupuk pengorbanan suci, bina iman dan mujahadah. Dengan bekal takwa sebagai pegangan.

Sunnah melesat wajib, menumbuhkan 10, 100, 700, 1000, ... dan bertambah hingga hanya Sang Khalik saja yang tahu balasannya. Semua kebaikan, berkumpul dengan sempurna di dalamnya, tanpa cela sedikitpun. Bahkan musuh abadi anak cucu Adam harus menahan geram karena terbelenggu. Robbi, andai saja setiap bulan adalah RAMADHAN...

*buat semua yang pernah interaksi sama ilo’, maaf kalo selama ini banyak salah dan dosa. Semoga kita kembali fitri di akhirnya. Amin...

Wednesday, August 15, 2007

lagi, tentang ibu

Saya hanya bisa diam dengan mata gerimis. Menyaksikan tubuhnya berbaring di kamar ICU pasca operasi. Rabbi, ketentuan-Mu memang terkadang sulit untuk ditebak. Tubuh yang biasanya selalu saya saksikan (di rumah di sinjai sana) tiap pagi setelah sholat subuh dengan lincah menyiram bunga dan menyiangi rumput yang tumbuh di pekarangan depan, atau sore hari selalu tersenyum di teras menyaksikan cucunya berlari-lari dan bermain air di bawah pohon mangga, kini tenang dengan mata terpejam. Hanya gerakan turun naik dari dadanya dengan nafas teraturnya yang kutemui magrib itu, kala izin membesuk masih tersisa 15 menit.

Terbayang ketegarannya di hari-hari lalu. Berjuang dan membesarkan kami, anak-anaknya. Hampir tak pernah kudengar keluhan dari bibirnya, yang ada hanya doa dan pengharapan pada Sang Maha Kudus di tiap rakaat sujud panjangnya. Doa akan keberhasilan dunia akhirat, dan harapan agar bermanfaat hidup dan kehidupan kami di semesta jagad ini. Senyumnya selalu mampu menetralisir kelelahan yang menghinggapi jasad, tiap kali menyambut kami pulang dari sekolah. Atau ketika kami mengetuk pintu rumah dengan ucapan salam kala kami pulang kampung ketika putaran waktu membawa kami menapaki jenjang universitas.

Selalu dan selalu. Makanan hasil masakan tangannya dan kue-kue bugis yang hampir tak pernah kosong mengisi lemari es di rumah kami tak pernah mampu tergantikan dengan fast food dan aneka kue yang namanya sendiri kadang tidak mampu kulafadzkan dengan baik yang sesekali kunikmati di keramaian kota makassar ini. Pun, sampai terakhir kalinya aku pulang kampung, masih saja ia dengan sabar menyelimuti tubuhku dengan selimut yang selalu tertidur di depan TV hingga larut malam. Tak pernah alfa, teguran lembutnya kala adzan sudah mengalun sementara aku masih meringkuk atau bermalas-malasan dengan laptopku.

Sekitar pukul 16, ketika kesadaran mulai menghampirinya karena pengaruh obat biusnya mulai berkurang sejak pukul 10 pagi tadi, ia berkata lemah setelah melirik jam dinding yang ada di sampingnya. ‘Mauka (saya mau) sholat dhuhur sama ashar dulu. Belumpa (saya belum) sholat dari tadi’. ‘Kapan operasinya kah? Kenapa belum mulai-mulai?’. Masih dengan mata kaca, kami tersenyum. ‘Mi...operasinya sudah selesai. Sekarang lagi di ruang ICU. Istirahat meki saja.

Ah, engkau makin membuatku kagum. Bahkan ketika kesadaranmu belum 100% pulih, hal pertama yang kau ingat adalah sholat. Seolah mengajari ulang diriku, yang kadang-kadang masih saja susah beranjak dari depan laptop kecuali panggilan iqomah sudah mengalun dari speaker masjid. Bahkan, 10 hari menjagamu di Rumah Sakit, tetap saja pelajaran-pelajaran kehidupan engkau perlihatkan kepadaku. Tentang kedisiplinan, semangat, baik sangka, kesabaran, sosialisasi dan ...dan...dan...lainnya.

Sungguh, jenjang pendidikanku memang lebih tinggi darimu yang tak satupun titel mengiringi namamu. Tapi, pelajaran yang kau tanamkan tak pernah kudapatkan di setiap jenjang sekolah dan universitas yang telah mencatatkan namaku sebagai bagian dari alumni mereka.

Terima kasih, ummi.

Wednesday, August 1, 2007

[sepenggal asa] tentang sebuah lakon hidup

Jika sebuah pertanyaan diajukan kepadaku, tentang sebuah profesi yang ingin kukagumi, maka tanpa perlu berpikir panjang akan kujawab ‘dokter’. Sebagian yang mendengarnya pernah tertawa lalu berkata, kalau begitu, mengapa waktu UMPTN kemarin tidak memilih jurusan kedokteran? Aku hanya selalu tersenyum sebagai jawaban. Sebab, aku juga tidak pernah tahu jawabannya, mengapa waktu UMPTN kemarin malah memilih elektro.

Mungkin, bagiku profesi tidak selalu identik dengan cita-cita atau keinginan yang kuat untuk mencapainya. Tapi lebih pada sebuah panggilan hidup. Memang, ada kepuasan dan kebahagiaan tersendiri di sana, jika profesi yang dilakoni sekarang sesuai dengan cita-cita yang telah lama terpatri dalam setiap dahan harapan kita. Namun, tidak selamanya hidup berjalan seperti dengan harapan kan?

Dokter. Selalu saja menjadi salah satu obsesi besar dalam ruang pikiranku. Memandang mereka yang berpakaian putih melintasi lorong-lorong Rumah Sakit, mendekap kamus dan buku-buku tebal di dada mereka, berdiskusi di ruang tunggu atau kantin, menggambarkan atmosfir akademik yang tak pernah padam.

Bahkan, bukan hal yang aneh ketika sebagian besar manusia sangat menaruh harapan besar di pundak mereka akan sesuatu yang mereka sebut ‘hidup’. Sedemikian tinggi peran dan tanggung jawab yang disandangnya bagi kehidupan dan perbaikan, sampai-sampai seorang Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa Ilmu yang wajib dituntut dan dikuasai setelah Ilmu Agama (Syar’i) adalah Ilmu Kedokteran.

Tanpa bermaksud memandang rendah profesi yang lain, memang, dokter dengan beragam spesialisasi yang ada, sedikit banyak memiliki pengaruh dalam perjalanan hidup di bumi ini. Sejak dahulu yang dikenal dengan beragam sebutan. Dari penyembuh, tabib, dan lain-lain. Mereka selalu memiliki tempat terhormat di kalangan masyarakat.

Di atas itu semua, kepeduliannya yang hampir tanpa batas pada kesembuhan dan kesehatan pasiennya juga selalu menjadi hal unik. Beberapa temanku yang telah melakoni profesi ini, selalu mengatakan bahwa ada kegembiraan dan kepuasan yang tak terlukiskan, jika berhasil menangani suatu penyakit tertentu dari diri seorang pasien yang mereka tangani.

Yah...meskipun aku bukan seorang dokter, profesi yang kulakoni sekarang juga memiliki kemiripan dengan mereka. Minimal menjadi salah satu dokter komputer. Atau seperti yang my mother selalu inginkan, agar mencari calon pendamping yang berprofesi sebagai dokter (nah loh...kok larinya ke sini yah,hehehe)

Wednesday, June 27, 2007

Tentang Seseorang 5 [brigade 013]

Ia selalu memanggilku dengan sebutan 'komandan'. Mungkin sebagai 'balasan' kenyataan bahwa aku juga selalu memanggilnya 'panglima'. Dia yang memakai nick name 'brigade 013' dalam setiap tulisan-tulisannya yang kebanyakan bertema tentang totalitas perjuangan, keharusan berbangga dengan izzah keislaman di hadapan ideologi lain yang makin meracuni pikiran sebagian manusia, serta tentang kedisiplinan.

Perawakannya bagus. Dengan tinggi yang proporsional. Sesuai dengan jurusannya yang makin mendukung itu semua di kampus merah-hitam (Teknik UNHAS); Teknik Geologi. Ia memang paling hoby bertualang naik gunung. Proses pembentukan fisik menjadi kuat menjadi salah satu prioritasnya. ia sering menggambarkan, bagaimana mungkin kita akan berjihad melawan kaum kuffar, sementara fisik kita lemah dan sakit-sakitan. Pernah, ia menyinggung sebagian ikhwah yang baru sekedar kena hujan atau udara malam sudah meringkuk kesakitan. Namun jangan salah, air mata akan menderas dari pelupuk matanya kala dia sudah berdiri di hadapan Rabb Al Alamin kala pertiga malam menjelang pagi.

Lepas dari kampus 2006 kemarin, ia langsung kembali ke tanah kelahirannya di bumi Borneo sana. Kontak terakhirku dengannya lewat e-mail yang mengabarkan dirinya sekarang sudah masuk menjelajah hutan-hutan liar yang alami yang ada di sana. Ingin tetap menyalurkan jiwa petualang, katanya. Ketika kutanya masalah pilihannya.

Malam tadi, sms-nya menderingkan HP-ku. Kala kantuk masih memberatkan pelupuk mataku yang masih lelah setelah melakukan perjalanan makassar-masamba-makassar. 'Ana ingin menangis, ingat perjuangan masa lalu dengan ikhwah...sedih rasanya berpisah. Ana rindu antum...' Aku tesentak. Kenangan bergerak bersamanya semasa di kampus kemarin berkelebatan di kepalaku. Ketika sama-sama digebuki polisi kala demonstrasi masa Gusdur, berhadapan dengan 'mahasiswa sangar' ketika berjuang bersama di Senat Mahasiswa Teknik, rapat-rapat di setiap malam menyusun agenda aksi perubahan, dan beragam yang lainnya.

'Perjuangan semasa di kampus, ane anggap sebagai -istirahat-. Ketika kita terjun ke masyarakat, di sanalah the real battle is begin. lagian, ketika masanya tiba, pasti kita semua akan pisah kan? Ane juga sedang merintis di sinjai nih, dah beberapa kalo turun medan. Yang jelasnya dakwah tetap jalan' kubalas sms-nya.

'JazakaLlah, tangis ini karena rindu berjibaku dalam dakwah dengan antum. Insya Allah dakwah tetap berjalan. Jadi khatib di pedalaman.Allahummaghfirlana...'

Sungguh, desir kekaguman langsung melanda berbarengan dengan peerasaan rindu yang menguasai hatiku. Aku juga nenangis. 'SubhanaLlah, medan antum sudah benar-benar menuntut makna pengorbanan dan kesabaran yang sejati. Bukan lagi sekedar retorika belaka. Insya Allah kita bertemu di rabithoh pengikat hati di setiap subuh dan petang. Ane juga merindukan antum' kembali kujawab sms-nya.

'Insya Allah akhi...semoga kita dipertemukan di sisi-Nya.'

Kelelahanku sirna. Membayangkan beratnya perjuangan yang dia lakukan di seberang sana. Kunyalakan laptopku dan langsung menuangkannya dalam tulisan ini. Masih kuingat kala ia membacakan LPJ ketika mengakhiri jabatannya di salah satu wajihah kampus suatu waktu, kala ia mengucapkan terima kasih padaku karena telah menjadi salah satu inspirasi bagi gerak langkahnya, dengan menyebut inisial yang juga sering kugunakan di setiap tulisanku, 'green AK-47'.

Masih kuingat juga, saat-saat akhir sebelum dirinya memutuskan kembali berdakwah di tanah kelahirannya. Tentang keinginannya untuk segera menyempurnakan separuh dien-nya yang masih tersisa, yang alhamduliLlah berhasil diwujudkannya belum lama ini. Juga, tentang tambahan 'gelar' yang disematkannya padaku setiap kali menegur dan berbicara padaku. Ia memanggilku 'komandan samurai'.

Akhi, gelar itu lebih pantas untukmu!

Friday, June 1, 2007

sebab karya tak semata ucapan dan cita-cita

Sahabat, apa kabarmu hari ini? Kabar iman dan ukhuwahmu, masihkah di ambang keterpurukan seperti kala itu? Ketika kau datang dengan muka gelisah dan tanpa perasaan tenang. Diam, namun kutahu pikiranmu menerjemahkan banyak hal yang selalu menjadi pertanyaanmu di setiap keadaan. Bahkan beberapa kali kudapati sosok dirimu merenung dalam kegelapan, di bangku samping rumah tempat kita dan beberapa saudara seiman yang lain bermalam bersama setelah lelah beraktivitas seharian.

Aku tahu, dan kami semua tahu. Paham dengan kegeraman yang kau rasakan melihat kondisi realitas ummat ini yang belum juga bangkit dari keterpurukannya. Mengerti dengan kemarahan yang terpendam di hatimu melihat kurangnya partisipasi kaum ini dalam kancah perputaran dunia dalam abad teknologi. Atau kelemahannya dalam penyusunan visi misi, ide, gagasan dan cita-cita untuk dituangkan dalam amal pekerjaan agar bisa bangkit sejajar bahkan menjadi pemimpin dalam siklus peradaban.

Keluhanmu sudah terlalu sering kami dengarkan. Saat pagi ketika kita semua sarapan ala kadarnya di teras belakang, yang selalu kita jadikan ruang diskusi berbagai hal. Atau sore saat menunggu adzan dari menara masjid, untuk berbuka puasa bersama dengan segelas nutrisari dingin dan roti coklat. Pun saat kantuk mengusap pelupuk mata, masih sempat kalimat keluhan itu mengantar pikiran ke ambang tidur.

Engkau benar, sahabat. Tidak ada yang salah dengan keresahan, kegeraman, bahkan kemarahanmu dengan semua kondisi itu. Sekali lagi, tidak ada yang salah. Kami pun sepakat dengan semuanya. Tapi, jangan pernah melupakan satu hal. Tidak ada yang dapat dirubah dengan cepat. Semuanya butuh proses. Di sinilah salah satu makna Rasul kita yang mulia SAW mengajarkan makna perjuangan dan kesabaran.

Apakah engkau tidak menganggap pertemuan rutin dalam lingkaran kecil tiap pekannya adalah bagian dari marhalah/tingkatan menuju ke sana? Apakah rapat dan meeting yang kadang tak kenal waktu di sela aktivitas harian kita, bukan jalan meraih semua cita-cita besar itu? Kerja-kerja sosial, ajakan kepada kebaikan sekecil apapun pada setiap orang yang kita temui, memperbaiki setiap tradisi jahil yang ada dalam lingkup keluarga kita, bahkan menulis, membaca dan mengisi materi yang kadang menurutmu terlalu sederhana, semuanya mengarah pada kebangkitan kembali kejayaan generasi mulia ini. Yakinlah, semuanya mengarah ke sana. Hanya saja, sekali lagi semuanya butuh proses, tahapan kerja, doa dan terakhir kesabaran.

Ah, maaf sahabat. Aku tak bermaksud mengguruimu. Kutahu otak akademismu jauh melampaui keinginan besar yang oleh sebagian manusia bahkan tidak pernah memikirkan sampai sejauh itu. Namun, mengapa kau menyia-nyiakannya dengan menghindar dan kemudian memilih berangkulan dengan keluh kesahmu dalam kesepian kesendirianmu? Ayolah, kami merindukanmu. Dalam barisan tahajjud yang tetap bercahaya di akhir malam, dalam kehangatan doa rabithah pengikat hati ddalam subuh yang menyejukkan, dalam kesyahduan yang tercipta kala kita duduk melingkar di tiap magrib, menyenandungkan kalam Ilahi dari bibir kita masing-masing. Dan dalam kebersamaan kita tiap sabtu-ahad, lari keliling kampus merah UNHAS, push-up, back-up, dan beragam pembentukan fisik lain yang kemudian kita akhiri dengan main bola dan taujih di penghujungnya sebelum bubaran.

Sebab, kerja besar yang kita usung juga membutuhkan persiapan fisik dan jiwa yang besar juga. Dan itu hanya bisa dipenuhi dengan persiapan ruhiyah, fikriyah, dan jasadiyah yang akan kau temukan dalam semua aktivitas yang telah engkau tinggalkan sejak memilih hening dalam kesendirian keluhanmu.

Sahabat, karya yang engkau dan kita semua cita-citakan harus dibarengi dengan banyak hal. Dan kerja adalah salah satunya. Sekecil dan seringan apapun. Ini tak akan bisa berubah hanya dengan ucapan dan cita-cita besar semata tanpa gerak nyata yang menghidupkannya. Apalagi hanya dengan keluh kesah semata.

Kembalilah, jangan berjalan sendirian dalam kegelapan. Di dunia ini, terhampar ribuan cahaya.

Wednesday, May 23, 2007

tentang seseorang 4 [sisi lain]

Tidak kuingat lagi, kapan pertama kali aku berinteraksi dengannya. Yang terekam dalam ingatanku hanyalah aku mengetahui tentangnya ketika pertama kali berkunjung ke blog, tempatnya menulis. Tak kuingat juga, kapan pertama kali aku chat dengannya menggunakan YM!. Yang jelas sejak itu, aku sering berdiskusi segala hal dengannya tiap kali aku sempat OL dan kudapati YM!-nya availabel.

Sama seperti mereka-mereka yang memiliki sandaran prinsip yang menjadi ideologi pegangannya, semuanya bisa dibaca dari gaya menulisnya di blog. Tentang keresahan-keresahannya, tentang perjalanan kesehariannya, tentang orang-orang berpengaruh di sekitarnya, tentang kerinduannya, dan tentang segala hal yang dirasakan di hatinya.

Jujur, tulisannya selalu mendatangkan inspirasi. Setidaknya bagiku. Meskipun mungkin ia tidak mengetahuinya. Kejujurannya mengungkap setiap detail peristiwa hidup yang dilihat dan dialaminya, selalu mendatangkan pelajaran bermakna bagi nurani yang belum padam cahayanya. Sederhana, namun selalu meninggalkan jejak tajam. Sekali lagi, minimal bagi diriku.

Dari avatar unik dan display image yang selalu dipakainya, kusimpulkan dia perempuan berjilbab. Tepatnya muslimah. Tak pernah kutahu wajah sebenarnya. Tapi ada kedekatan yang mengikat. Sama dengan ikatan yang menghimpunku dengan saudara seiman lainnya dalam simpul ukhuwah dan rabithah pelembut hati.

Tadi malam saat chat dengannya menjelang bubaran kantor, ia menamparku dengan telak lewat nasehatnya. Saat ia menceritakan sekali lagi pengalamannya di kampus suatu ketika. Tentang hati dan pilihan hidup. Yang dapat kutarik sebuah benang merah akan kemestian sebuah perjuangan. Perjuangan bertahan dalam lingkaran kebaikan dan menyebarkannya ke orang lain, perjuangan melihat realitas hidup dengan banyak sudut pandang agar tak jatuh pada kesimpulan yang salah, dan terpenting perjuangan menaklukkan diri sendiri, yang masih saja goyah dan rapuh sehingga mudah mengikuti dorongan syahwat dan ajakan setan.

Setiap kita, penyeru dan pelaku kebaikan memang bukan malaikat. Namun engkau tetap benar, ketika mengatakan agar tidak mengecewakan orang lain yang menjadikan diri kita sebagai salah satu indikator dan contoh dalam kebaikan. JazakiLlah!

ps: maaf, akhirnya tulisan ini terpublikasi juga. Mudah-mudahan tidak mengurangi nilai keikhlasanmu. Aku sudah meminta izinmu kan?

Sunday, May 20, 2007

Internet dalam bingkai pendidikan [Lomba Penulisan Entry Blog: Pendidikan, di komunitas AM]

INTERNET DALAM BINGKAI PENDIDIKAN

PENDAHULUAN

Tahun 1960-an, Departemen Pertahanan Amerika Serikat dengan Proyek ARPA mengembangkan jaringan komputer untuk pertama kalinya. Beberapa komputer mainframe dihubungkan dalam sebuah jaringan. Pada tahapan awal, ARPA menghubungkan empat komputer kerangka yangterletak di Stanford Research Institute, University of California di Los Angeles dan Santa Barbera, dan University of Utah. Tujuan awalnya adalah bagaimana dalam jaringan tersebut, tiap komputer dapat saling mengambil dan memindahkan data melalui beberapa jalur komunikasi yang berlainan. Dalam tahun-tahun berikutnya berbagai macam jaringan komputer dihubungkan kepada ARPANET dan keseluruhan jaringan tersebut membentuk internet.

INTERNET, DUA SISI MATA PEDANG

Di abad teknologi sekarang ini, perkembangannya telah ikut merambah dunia pendidikan. Dengan hadirnya teknologi informasi dalam beragam sisi kehidupan, banyak masalah dan kesulitan dapat teratasi. Akses informasi menjadi mudah dan cepat. Semuanya dapat diperoleh cukup dengan menekan tuts-tuts keyboard di mana saja kita berada.

Dalam konteks ini, mencoba menghadirkan internet dalam ruang pendidikan menjadi sebuah keniscayaan. Apalagi dengan semakin terjangkaunya harga komputer dan pemasangan jaringan, membuat penggunaan internet makin meluas. Dikenallah istilah penetrasi jaringan internet di sekolah dan kampus. Tujuan paling sederhana, adalah bagaimana setiap komponen masyarakat bisa makin akrab dengan komputer dan dunia internet. Sumber-sumber terbatas yang selama ini hanya disediakan oleh sekolah/kampus dan perpustakaan, dapat dilengkapi dengan berselancar di dunia maya. Contoh paling sederhana adalah dengan memanfaatkan situs wikipedia yang menyediakan beragam bahasa yang berfungsi sebagai perpustakaan online.

Dengan internet, semua yang terjadi di belahan dunia dapat dilihat dan diketahui saat itu juga. Semua jenis ilmu pengetahuan dan wawasan menjadi terbuka buat siapa saja. Bahkan, berkomunikasi dengan siapa saja di seluruh pelosok, bukanlah hal yang mustahil.

Perkembangan e-learning (belajar sistem elektronik) dengan virtual school (sekolah virtual), membuat model pendidikan menjadi lebih dinamis, dibanding duduk diam mendengar para pendidik menjelaskan poin demi poin yang ada dalam diktat atau buku cetak. Forum interaktif sebagai sarana percakapan dan berdiskusi dengan orang lain di tempat yang berbeda menjadi salah satu alternatif yang menyenangkan. Membaca buku, artikel dan makalah secara online sambil menikmati musik favorit merepresentasikan cara belajar quantum, seperti yang dipopulerkan oleh bobby de potter.

Namun tidak berbeda dengan semua hal yang diciptakan di dunia ini secara berpasangan, sisi baik dari perkembangan teknologi internet juga dibarengi dengan sisi buruk. Yang paling nyata dan merusak adalah item-item asusila yang tak bermoral dari beragam tinjauan dengan mudah dapat di akses di jaringan internet. Sementara pengguna terbanyak dari fasilitas ini adalah remaja yang masih dalam tahap pertumbuhan dan pencarian identitas diri.

Maka bukan menjadi hal yang aneh, jika dalam masyarakat ditemukan banyak kasus kerusakan moral dan tindak pidana kejam lainnya yang dilakoni oleh para remaja. Beberapa bahkan melakukan tindak kekerasan pada rekan sebayanya dengan inspirasi yang didapatkan dari game online yang menceritakan tentang vandalisme. Dengan pengaruh pornografi dan pornoaksi, produktifitas belajar para pengguna internet menjadi menurun. Malas, dan hanya mengembarakan hayalan memikirkan hal-hal yang tidak bermanfaat. Tingkat kriminalitas juga menjadi naik, dan membuat keinginan untuk meningkatkan prestasi menjadi mandeg.

Hal lainnya adalah ‘kecanduan’ yang susah diatasi. Chat online di dunia maya selalu ‘mematikan’ waktu tanpa terasa. Jika temanya mendiskusikan tentang pelajaran dan perkembangan inovasi terbaru, atau saling tukar informasi dalam beragam hal mungkin bukan masalah. Namun dalam beberapa survey acak yang dilakukan, kebanyakan netter yang memanfaatkan sarana chat menggunakannya untuk sekedar bergosip ria bahkan menjurus ke pornografi seperti yang sudah disebutkan di atas.

MENGASAH SISI TAJAM

Seperti pedang yang memiliki dua sisi, jika digunakan oleh orang yang tepat maka akan mendatangkan banyak manfaat. Namun, jika dipakai oleh mereka yang kurang bahkan tidak mengerti, jangankan memetik manfaat bisa jai malah akan melukai diri sendiri.

Dengan berimbangnya manfaat dan keburukan dari perkembangan jaringan internet, menuntut para pelakon IT yang masih memiliki kesadaran untuk memaksimalkan fungsi-fungsi positif dan mengeliminir sisi negatifnya. Fungsi paling mendasar yang harus disebarkan adalah menanamkan kesadaran bagi para netter (sebutan bagi pengguna jaringan internet) untuk berpikir ke arah perbaikan dengan adanya jaringan internet ini. Bukan sebaliknya, yang bisa menghancurkan kemapanan masa depan yang sedang diukirnya.

Penyediaan infrastruktur jaringan komputer, multimedia, video conference dan lain-lain harus diikuti dengan kesiapan sumber daya dan pengoptimalan resource yang ada. Sehingga dapat berjalan seiring dengan peningkatan sisi pendidikan yang dapat diambil dari internet. Pembinaan guru dan orang tua di rumah dan sekolah juga menjadi faktor yang berperan penting dalam meng-counter sisi negatif dari jaringan internet ini. Dengan kerja sama seluruh pihak dan elemen masyarakat, maka pemanfaatan internet sebagai media untuk meningkatkan mutu pendidikan dalam makna yang sesungguhnya bukanlah menjadi hal yang utopi.

Friday, May 18, 2007

sebuah pertanyaan hidup

Bagi sebagian kita, kehidupan kadang terasa lama berputar. Meskipun sejatinya, dibandingkan kehidupan akhirat, umurnya sangatlah singkat. Beberapa kita kadang merasa jenuh, capek dan bosan. Kemudian merasa hidup ibarat daun yang lepas dari tangkainya. Luruh, dan terbang kemana arah angin membawanya. Tak ada arah yang jelas. Harapan menjadi sirna, karena tujuan hidup menjadi buram. Tak ada lagi nilai yang diperjaungkan di sana, dan semuanya akan berujung pada keputusasaan.

Jika kita sampai pada titik ini, maka ada perbaikan yang harus dilakoni. Sebab hidjup terlalu berharga untuk hanya dibiarkan berjalan seperti air yang mengalir. Minimal, pengharapan akhir harus segera disegarkan kembali. Bahwa muara segala sesuatu adalah pada-Nya, yang menggenggam semua cita dan harapan segala makhluk. Sebab, tidak pernah ada harapan yang benar-benar hilang. Pada-Nya, kita akan selalu mendapat pengharapan sejati.

Maka seiring bertambahnya usia hidup kita di dunia fana ini, sisihkanlah waktu sejenak berdiam diri untuk intropeksi. Memuhasabah semua langkah hidup yang telah diayunkan. Namun bukan sekedar evaluasi kemudian berhenti di sana. Sebab persoalan utamanya adalah menjawab sebuah pertanyaan dalam simpang sejarah ‘ADAKAH YANG HARUS SAYA REVISI DALAM PERJALANAN HIDUP SEJAUH LANGKAH YANG TELAH MENGANTARKAN SAYA SAMPAI DI JEJAK INI?'

*Inspired from tulisannya deen

Tuesday, May 8, 2007

jangan kau bunuh hatimu

Siapakah yang bisa berdamai dengan perasaan? Kita hanyalah makhluk lemah yang dititipi amanah memakmurkan bumi di bawah aturan-Nya. Namun di balik kelemahan itu, ada satu anasir hidup, yang menjadikan kita manusia menjadi sebaik-baik makhluk. Anasir itu bernama hati, yang membuat kita bisa mengekspresikan beragam perasaan.

Dengan hati, kita bisa menangis ketika bersedih. Tertawa kala gembira, marah saat terganggu, dan berbagai bentukan ungkapan lainnya. Semuanya dari hati, yang menggerakkan perasaan untuk mengakumulasikan semua.

Hati, yang membuat seorang ibu rela tidak tidur untuk menjaga buah hatinya. Tanpa peduli kelelahan menggelayut berat di pelupuk mata. Ia pula yang memberikan semangat kepada tiap ayah untuk memeras keringat memenuhi semua kebutuhan keluarganya tanpa menghiraukan beban letih di kedua pundaknya. Begitu dalam makna cinta dan keajaiban yang terkandung dalam hati.

Dengan hati, warna indah dunia terlukis dalam makna cinta, kasih sayang dan perhatian. Dengan hati pula, kebencian, dendam dan angkara murka menghitamkan sejarah jernih kemanusiaan. Meskipun untuk yang terakhir ini, merupakan indikator sakitnya atau bahkan kematian sebuah hati. Begitu misterius cara kerjanya.

Maka jangan pernah membunuh hatimu. Sebab, keberadaannyalah yang membuat nilai kemanusiaan kita berada di puncak keagungan. Sucikan, bersihkan dari semua noda yang dapat mengotori kemurnian niat dan kebeningan pancarannya.

Jika engkau tidak lagi memiliki perasaan untuk semua hal yang terjadi di depan matamu, lihatlah hatimu. Dan jika ia telah terlanjur membatu, mintalah pada Allah agar melembutkannya’.

Tuesday, April 24, 2007

pencarian [edisi resah]

Rabbi, di sini aku mengetuk kembali pintu-Mu. Setelah lama terseret arus dunia yang melenakan dan membuatku lalai. Ruhaniyahku mengering. Energi jiwaku rapuh termakan kesia-siaan yang membuat nafas kehidupan berputar pada lingkaran kosong tanpa makna hakiki.

Rabbi, di sini aku kembali bersimpuh di rumah-Mu. Menyuarakan nada hati pada kegelapan malam yang menidurkan penghuninya. Resah, mengejar target duniawi yang tak pernah habis sampai meskipun ditambah dan ditambah. Sementara, ketenangan yang kuharapkan makin menjauh.

Rabbi, di sini aku bersujud di bawah mihrab keagungan-Mu. Mencoba menangkap sisa-sisa iman yang masih bersinar di pijakan sudut hati. Aku rindu bergabung dalam barisan orang-orang yang mensucikan jiwa dan menghiasi diri dengan akhlak tuntunan Rasul-Mu.

Rabbi, di sini aku menengadahkan tangan, meminta di kebesaran Kuasa-Mu Yang Tak Terbatas. Aku mencari semuanya dalam doa. Aku mencarinya dalam tetasan air mata yang sudah berbilang waktu tak pernah lagi menemukan muaranya. Aku kembali mengembara di jalan-Mu, mencari makna diri dan cinta seperti yang pernah Kau janjikan dalam kalam-Mu yang abadi.

Rabbi, jangan lagi Kau biarkan kaki ini melangkah tanpa panduan-Mu. Jadikan pendengaran, penglihatan, dan semua ruas jasad dan jiwa ini mengikuti tuntunan-Mu, dan jauhkan dari tipu daya musuh abadi manusia yang menyesatkan.

Rabbi, jangan pernah menutup pintu-Mu. Meskipun pengembara miskin sepertiku terlalu banyak menyalahi aturan syariah-Mu. Sebab, ke mana lagi aku harus mengetuk jika pintu-Mu sendiri telah Kau tutup?

Tiada daya dan kekuatan, hanyalah milik-Mu ya Allah.

Friday, April 13, 2007

tentang seseorang 3 [sisi lain]



Aku mengenalmu pertengahan tahun 2004 kemarin. Saat itu seingatku fisikmu masih seperti remaja kebanyakan dengan struktur tubuh yang belum terlalu terbentuk. Kekanak-kanakan, ceria, dan just having fun.

2 tahun lebih sejak pertama mengenalmu, sosokmu banyak berubah. Struktur fisikmu tak usahlah kugambarkan. Untuk mencegah imajinasi liar agar tidak berpikir yang tidak sewajarnya. Cukup dua kata untuk mewakili itu semua. ‘Kecantikan sempurna’.Bahkan adikku yang cewek sendiri bilang seperti itu saat melihat gambar dirimu. Kau juga jadi lebih pendiam, dan [ini yang membuatku gembira] kau makin ‘akrab’ dengan buku. Ini kuketahui saat bercerita denganmu di suatu sore.

3 hari yang lalu, kau mengirimkan satu pesan singkat he HP-ku. ‘Kak, ada yang menyatakan perasannya padaku’. Begitu tulismu. Aku tak menanggapinya. Namun sms berikutnya datang dan masih menyampaikan pesan yang sama. ‘Trus, tanggapanmu gimana?’ kubalas sms-mu. ‘Aku bilang kita sahabatan saja’. 'Kenapa?’ kejarku. ‘Aku takut sama Allah, bukankah hanya orang bodoh yang menukar kesenangan syahwat yang sesaat dengan keabadian surga?’.

Aku tertunduk membaca pesanmu. Malu dengan diri sendiri yang terkadang masih saja bercengkrama dengan dosa. Hujan yang menderas di luar makin menguatkan syukurku bahwa Allah SWT masih memperhatikan diriku dengan menempatkanku di lingkaran orang-orang yang selalu memberikan pencerahan untuk bertahan dalam keteguhan prinsip.

Saturday, April 7, 2007

[melihat dari sisi lain] tentang hujan dan terik

Kita sering mengeluh, saat hujan turun ke bumi. Entah dengan alasan dingin atau jalanan menjadi becek dan tergenang air sehingga menghambat beragam aktivitas luaran kita. Namun saat matahari bersinar terik, keluhan itu tak juga berhenti. Panas, gerah dan berkeringat. Itu sebagian alasan yang terlontar dari lisan .

Sejenak, mari membuka satu jendela lain dari kisi hati kita. Jendela yang terkadang sudah terlalu lama tertutup sehingga menyisakan kegelapan dan udara pengap dalam ruang imajinasinya. Jendela yang kita menyebutnya sebagai ‘renungan’.

Hujan, dengan titik air yang diturunkannya selalu ‘menghidupkan’ bumi setelah ‘matinya’. Tanah menjadi subur. Tumbuhan menjadi lebih segar, sehingga menjadi lebih produktif. Pernahkan kita membayangkan senyum para petani yang berteduh di dangau kecil mereka tiap kali hujan mengaliri sawah ladangnya? Ya, dari mulut mereka tak pernah lekang doa agar hujan bisa turun menghidupkan tanaman.

Panas matahari dengan cahaya yang dipancarkannya pun demikian. Dengan kandungan zat yang dimilikinya, membuat setiap tumbuhan mampu ‘memasak’ makanan untuk pertumbuhannya. Bahkan, setiap makhluk hidup akan mendapatkan supply energi baru tiap kali bersentuhan dengan kehangatan cahaya matahari, yang tak bisa digantikan dengan sumber cahaya lain.

bahkan, perpaduan keduanya selalu menghasilkan sebuah fenomena alam yang terlukis indah di kanvas langit; PELANGI dengan segala keajaiban warna dan lengkungannya.

Lalu, masihkah kita menggerutu dengan hujan dan panas yang dipergilirkan di alam ini?

Monday, April 2, 2007

Sebuah dunia kecil

Aku tidak tahu, sejak kapan mulai senang memperhatikan anak kecil. Bagiku, mereka seperti cermin yang memantulkan bayangan dengan polos, jujur dan apa adanya. Tidak ada ambiguitas yang terinterferensi. Atau kebohongan yang tersamarkan. Murni, apa adanya.

Seperti pagi itu, saat aku berteduh di emperan sebuah toko dari rintik hujan yang mulai menderas. 3 sosok bocah kecil tiba-tiba saja keluar dari rumah sederhana mereka dan langsung berkejaran di bawah siraman dingin hujan. Gembira, tertawa lepas. Tak kudapati beban hidup menggelayuti wajah ceria mereka. Aku tersenyum.

Atau suatu waktu, malam hari setelah pulang kerja di sebuah pete-pete [angkutan mahasiswa dan umum]. Seorang anak dengan damai menyandarkan kepala kecilnya di pangkuan ibunya kemudian tertidur. Tidak memperdulikan kebisingan dunia yang hilir mudik berseliweran di sekitarnya. Pun ketika suatu malam, saat singgah membeli martabak di sekitaran Jalan Hertasning Baru. Sambil duduk menunggu di atas motor, kutolehkan kepala ke arah suara seorang anak yang merengek. Ternyata ibunya sedang singgah membeli sesuatu di toko, dan ia bersama ayahnya menunggu di atas motor juga sama seperti diriku. Tak lama, sang ibu keluar. Spontanitas, rengekan anak tadi sirna. Berganti senyuman kemudian dengan segera menyambut ibunya dengan pelukan di pinggangnya.

Hmmm…bagi sebagian kita, masa remaja mungkin dianggap sebagai masa yang paling indah. Sehingga banyak di antara kita yang memimpikan untuk mengulang kembali masa itu. Namun, jika saja aku diberikan pilihan untuk bisa kembali ke masa lalu, aku lebih memilih menjadi anak kecil dan bersahabat dengan dunia, tanpa harus mengenakan berbagai bentuk topeng kemunafikan dan kepura-puraan.

[masih dalam kepenatan yang sama, karena dikejar beragam deadline]

Friday, March 30, 2007

[.................................................................]



Aku rindu sawah. Pada aroma tanah basah selepas hujan. Pada hamparan hijaunya yang menyejukkan. Pada bulir padinya yang menggantung keemasan. Pada gerombolan pipit yang terbang. Pada dangau tempat melepas penat sambil menikmati belaian angin sore.

Aku rindu sawah. Pada pematang tempat berpijak kaki-kaki kecil waktu menaikkan layangan. Pada coklat lumpur yang membenamkan kaki sampai ke lutut saat menangkap ikan atau belut. Pada keriangan jungkir-balik di tumpukan jerami setelah panen.

Klasik…dinamis…sejuk..jauh dari polusi…jujur…

[kepenatan beberapa hari ini saat dikejar beragam deadline membuatku ingin istirahat di tengah hamparan kesejukannya]

Aku rindu sawah…

Thursday, March 29, 2007

[sepenggal fragmen hidup] tentang mimpi yang tak padam*


Kau mengajariku bergaul dengan anak-anak matahari. Menghirup aroma panas debu dan aspal jalanan, menerobos derasnya hujan, begadang menyusun agenda aksi dan perubahan, menjadi sarapan keseharian.

Kau mengajariku untuk mengangkat kepala di hadapan para tiran. Berkata jujur, meskipun di bawah ancaman laras senjata.

Hmmm…terlalu banyak pekan bersejarah yang telah coba kuukir dengan warna yang berbeda. Sejak bersamamu.

Hari ini, aku tersenyum. Saat kau mengundangku untuk menghadiri MILAD-mu. Maaf, aku tidak bisa. Ada amanah lain yang harus aku tunaikan. Bukankah kau pun telah mengajarkanku agar tidak mengkhianati amanah? Kau tertawa. ‘AlhamduliLlah, kau sudah belajar melihat dari banyak sisi. Tidak lagi terpenjara dengan persepsi sempit yang dangkal. Sekarang, kau pun telah paham kan? Mengapa aku memintamu untuk mencintaiku dengan sederhana?’ tanyamu.

Aku mengangguk. Dan di atas motor yang membawaku ke tempat kerja, aku masih sempat mendengar lantang suaramu. Tetap seperti yang dulu, menggetarkan tiran di singgasana kekuasaannya. Tetap menjadi mimpi buruk bagi cita-cita ideology kemunafikan mereka.

Selintas kenangan kembali terputar di benakku. Saat aku menyertaimu beberapa kali dalam aksi. Merasakan kerasnya pentungan, pukulan dan tendangan laras tentara yang harusnya memihak kepada rakyat. Atau saat batu ‘nyasar’ singgah di badanku ketika harus chaos dengan beberapa elemen lain. ‘Berwisata’ di Mabes POLDA seharian. Diinterogasi dan tanpa diberi sesuap makananpun.

Aku merindukan semua itu. Dan aku masih tetap akan memilih itu semua. Sebab, seperti katamu ‘Kebenaran-lah yang akan menang. Meskipun harus menanggung sekian kesulitan


REFORMASI, wait for me!!!

---oOo---

*kado MILAD untuk KAMMI, tempatku belajar dewasa


Wednesday, March 28, 2007

[sepenggal fragmen hidup] tentang universitas kehidupan*

Fragmen 12

Belajarlah membaca dengan hati, bukan dengan pikiran’ kalimat pembuka yang kau ucapkan pagi itu, saat mengajakku ke pinggiran kota. Di deretan rumah-rumah kardus yang saling berdempetan tanpa bentuk. Kumuh, sumpek, hampir tak menyisakan sejengkalpun lorong udara untuk sekedar bernafas dengan lega. Selokan berair hitam yang penuh sampah, mengalir. Menahan nafas sambil berjalan, tetap saja aroma busuk yang menguar memenuhi rongga paru-paru. Aku mual.

Tidak terbiasa ya?’ tanyamu. Aku mengangguk. Tak kuasa membuka mulut. Sambil menengadah ke langit, kau berucap pelan ‘jalan lain masih terbuka untukmu’. ‘Tidak…tidak…aku harus bertahan’. Tekad ini harus menyatu dalam aliran darahku.


Senja mulai memerah di ujung barat. Dalam senyum, kau kembali bertanya ‘Masihkah hatimu membatu melihat sebagian realitas negerimu yang seperti ini?'


Fragmen 13

Udara konflik masih membumbung tinggi. Mengangkasa, seiring dengan asap hitam tebal yang meninggi. Meninggalkan bara jejak api dengan segala keangkuhannya. Anyir darah menggantikan kesegaran udara pagi. Tak ada tawa riang dan kegembiraan anak-anak yang berlari berkejaran di lapangan dan tepian sungai. Toleransi dan kasih sayang tercetak tak berdaya, dalam lembaran putih kertas buku dan pemanis bibir kala pertemuan.

Kau mengajakku ke sana. Di antara desingan peluru, lemparan tombak dan lesatan anak panah. Refleks, aku hanya bisa menggelengkan kepala. Dan kau melangkah dengan tersenyum. Dari kejauhan, masih kulihat sosokmu memapah mereka yang terluka. Dengan penuh kasih, membelai kepala anak-anak yang menangis ketakutan. Membalut luka dan membersihkan darah yang mengotori tubuh para korban yang tak mengerti mengapa harus mengalami hidup seperti itu.

Sekembalimu dari sana, kau berucap ‘Sejarah, hanya mengenang 2 karakter manusia. PEJUANG atau PECUNDANG


Fragmen 14

Masih ingat jalan lurus yang ujungnya tak kelihatan dari tempatmu berdiri waktu itu?’.

Ya’, jawabku.

Sambil mendesah, kau melanjutkan ‘Jalan itu sangat panjang. Ia tak bisa diukur dari usia yang kita punya. Bahkan, umur satu generasi belum bisa membuat perjalanan ke sana akan berakhir. Sekelilingnya dipenuhi onak duri, sesuatu yang tak sempat kau lihat sebelumnya. Kepayahan, peluh, air mata bahkan darah akan menjadi harga mati bagi yang melaluinya. Namun, kebahagiaan sejati ada di sana.

Apa yang harus aku lakukan jika aku tetap memilihnya?

Belajarlah bertahan. Dengarkan selalu suara nuranimu. Jangan menyerah. Sebab, perjuangan baru akan bernilai dengan tekad yang tak pernah padam.

---oOo---

‘Bukan POTENSI, namun PILIHAN yang membuat setiap orang berbeda’

*inspired from 'dia' yang besok akan MILAD. Saat semangat perlawananku kembali membara.

Tuesday, March 27, 2007

[sepenggal fragmen hidup] tentang cinta yang memilih*

Fragmen 9

Kegelapan dan persimpangan. 2 tikungan sejarah yang selalu menyesatkan banyak karakter manusia. Entah dengan suasana mencekam dan mistis yang diciptakannya, yang membuat kaki salah melangkah, ataukah kebimbangan dalam menentukan arah hidup yang menuntut keputusan cepat namun teliti dan benar. Dan jejak langkahku pun akhirnya membawaku bertemu dengannya. Persimpangan yang gelap. Sejenak, keraguan dan kepanikan mulai merasuki indera sadarku. Namun, kau muncul. Dengan putih cahaya yang menerangi sebuah jalan lurus, meskipun ujungnya tak terlihat dari tempatku berdiri.

Fragmen 10

Kegelapan itu tetap tak menyerah. Serentak, ribuan tangan hitam mengarah ke tubuhku. Masing-masing memegang sesuatu yang berbeda dalam genggamannya. Samar, kujumpai banyak bentuk dan jenis warna serta aroma yang memancar dari sana. Kembali, kepanikan menyergapku. Antara keinginan mengikuti, dan bertahan dalam ambang batas kesadaran yang hampir-hampir merubuhkan jasadku. Kau hanya tersenyum, mengulurkan tangan halusmu sambil mengangguk, mengajakku ikut melangkah dalam benderang cahaya putih yang menyelimutimu.

Fragmen 11

Beragam suara kasar memberenggut dalam kegelapan. Teriakan keras yang menguras energi sisa, membuatku limbung, dan akhirnya terjatuh. Kau tetap tersenyum. Namun ketegasan mulai terlukis di garis wajah dan bening matamu. Dengan ketenangan yang mengagumkan, kau menyeru ke arah kegelapan ‘biarkan ia memilih dengan hak kebebasannya. Bukankah ia lahir dari rahim ibunya dalam keadaan merdeka?’. Keheningan menjelma.


Sisa tenaga yang tersisa kugunakan untuk merangkak. Perlahan, menyeret tubuhku ke arah jalanan yang masih berkilau dengan putih cahaya yang meneranginya. Senyummu tetap tak berubah. Perlahan, kau mendekatiku. Mengangkat, memapah dan memeluk tubuhku untuk kemudian mensejajarkan langkah kakiku dengan iramamu. Tak ada yang tersisa, selain ketenangan yang menyelimutiku. Damai.

--oOo--


Lalu, bagaimana mungkin kau memintaku mencintaimu secara sederhana, dengan perhatian dan kasih sayang agung yang telah kau ajarkan kepadaku?

*inspired from 'dia' yang 2 hari lagi akan MILAD. Cinta ini belum berubah :)


Monday, March 26, 2007

[sepenggal fragmen hidup] tentang sesuatu yang tercabik*

Fragmen 8


Resah. Perasaan itu masih saja setia mengikutiku. Tetap sama seperti yang dulu. Seperti saat kusaksikan ribuan TKI harus jadi kuli di negeri sendiri. Saat ratusan anak harus menderita lumpuh layu dan gizi buruk. Saat para ibu harus mengemis demi sebotol susu untuk buah hati dan sepiring nasi untuk keluarganya. Saat anak usia sekolah harus mengalahkan deru mesin kendaran di tiap perempatan lampu merah, menadahkan tangan untuk sekeping rupiah.

Sedih. Kosa kata inipun masih susah beranjak dari pikiranku. Tetap sama seperti yang dulu. Saat beragam bencana datang silih berganti. Saat nurani kemanusiaan bertekuk lutut di bawah tirani kekuasaan dan materi. Saat logika dan moralitas, digadaikan dalam lembaran kertas uang dan prestise semu atas nama status sosial. Saat inteletualitas dihargai dengan deretan huruf dan angka dalam lembaran ijazah dan transkrip nilai.

Geram.sikap hati yang juga masih menari di ruang jiwaku. Tetap sama seperti yang dulu. Saat nyawa manusia tak lebih dihargai dari bangkai busuk binatang liar. Saat ego lebih banyak berbicara dibanding kemurnian nurani. Saat alur anarkisme menjelma budaya di ketenangan pelosok negeri ini.

Maka satu-satunya pilihan rasional adalah dengan BERGERAK! Sebab, DIAM berarti MATI. Bukankah PERUBAHAN hanya bisa terwujud dengan BERGERAK?

Namun, ada yang makin menambah beban ini. Setelah keresahan, kesedihan, dan kegeraman. Ternyata ditambah lagi dengan kebingungan. Bagaimana tidak, kebanyakan kita malah memilih untuk saling menyalahkan. Di mana prinsip kerja sama yang diajarkan orang tua kita dahulu saat kita masih kanak? Ke mana daya juang yang ditanamkan pendahulu kita saat kita mempelajari sejarah mereka? Ke mana nalar berpikir kita disembunyikan, sementara beragam tingkat pendidikan telah kita enyam?

Kawan, sudah cukup banyak air mata ibu pertiwi ini terkuras. Jangan lagi ditambah dengan perpecahan di antara kita, anak-anaknya. Bukankah perbaikan lebih berharga dibanding saling tuding? Tidakkah solusi lebih bermakna dibanding saling curiga? Berdialog, tetulah lebih dewasa dibanding memendam buruk sangka yang akan berpotensi melahirkan fitnah?

Kawan, MERAH-PUTIH itu masih melambai, meski hanya setengah tiang. Ya…meski hanya setengah tiang. Yang dia butuh adalah angin sejuk perubahan untuk mengembalikan kemegahan kibarannya. Yang ia butuhkan adalah tarikan dan dorongan agar kembali ke puncak tiangnya, dan mengangkasa ke seantero dunia. Mengabarkan eksistensinya dengan kumandang ‘INDONESIA BELUM MENYERAH’

Ya, INDONESIA BELUM MENYERAH, selama masih ada pemuda yang resah, sedih, dan geram dengan semua sejarah yang telah diukirnya. Pemuda itu adalah aku, kamu, dia, kita, dan mereka!

*inspired from 'dia' yang 3 hari lagi akan MILAD. I LOVE U SO MUCH :)

ps: aku yakin, ibu pertiwi akan kembali tersenyum jika melihat kita semua bergandengan tangan :)

Saturday, March 24, 2007

[sepenggal fragmen hidup] tentang srikandi kampus merah



Fragmen 5

Tingkahnya santun. Sejuk dalam balutan jilbab putih lebar dan jaket hijau yang selalu menemani kesehariannya. Tas ransel selalu setia nangkring di pundaknya. Hampir tak pernah kudengar keluhan keluar dari mulutnya yang tak pernah absen dari tilawah harian. Yang ada hanya semangat. Ketajaman analisa dan kepedulian sosialnya, membuat sosoknya tak pernah lepas dari segudang aktivitas. Baris senyum tak pernah hilang dari lekukan bibirnya. Dan yang membuatnya paling unik, adalah ideology yang dipilihnya. Meskipun dia tahu, kelelahan yang akan dia tanggung. Keringat, air mata bahkan darah yang akan mengalir. Namun jawabannya sederhana saja, tiap kali orang-orang menanyakan tentang semua itu, “adakah perjuangan yang tidak menuntut pengorbanan?”

Fragmen 6

Dia tertawa. Selama ini hanya senyumnya saja yang selalu kulihat. Tapi pagi itu, dia benar-benar tertawa. Saat mengetahui bahwa ternyata hari-hari aksi yang kulalui dengan beberapa teman sering dimulai dengan nasi gosong, sepotong tempe dan air putih. “Gimana mau kuat bertahan” katanya. “Selain persiapan maknawiyah dan wacana, jangan pernah melupakan fisik”. Maka rutinitas hariannya bertambah lagi. Membawa makanan ke sekret tempat kami merancang beragam agenda perubahan. Bahkan, malam hari pun selalu ada tambahan supply tenaga. Secangkir kopi hangat dan snack ringan.

Fragmen 7

Jilbab putihnya penuh darah! Ya, beberapa batu nyasar ‘singgah’ di kepalanya yang tiap akhir malam tak pernah alfa sujud di hadapan Sang Kekasih. Masih kuingat tekadnya di akhir rapat, saat mendengar keraguan beberapa rekannya akan aksi yang telah dirancang jauh hari sebelumnya. “perjuangan hanya dilakoni oleh mereka yang memiliki mental pemberani, bukan pengecut. Takut mengambil resiko, lebih baik mati saja!” tegasnya. Dan dia konsisten dengan keyakinannya. Saat tubuhnya dipapah, dia berkata “ini baru sedikit dari beragam resiko perjuangan”. Bahkan di sela-sela darah yang mengalir turun ke wajahnya, lagi-lagi hanya senyum yang mengembang di bibirnya.


“HIDUP, MASIH MENYISAKAN ORANG-ORANG TEGAR DALAM DIRINYA”

Thursday, March 22, 2007

[sepenggal fragmen hidup]

Fragmen 1 :

Puzzle itu belum utuh. Namun gambarnya sudah mulai terbentuk. Tuhan … aku letih. Bisakah aku berhenti sejenak untuk beristirahat?

Fragmen 2 :

Berbalik ke belakang, seuntai ghoflah/kesalahan dan kesombongan masih juga mengikuti. Apakah ini hukuman-Mu? Tuhan … sabarkan aku dalam sakitku. Jadikan ia sebagai penebus dan penggugur dosa-dosaku seperti yang pernah disabdakan oleh manusia Agung, RasuluLlah saw.

Fragmen 3 :

Malam masih sama. Tetap menyiramkan embun di awalnya. Dingin, sampai subuh menjelang. Kontras dengan kehangatan geliat semu dan fatamorgana kenikmatan manusia yang jauh dari tuntunan-Mu. sunnatuLlah kebaikan dan kejahatan, ternyata tak sesederhana itu.

Fragmen 4 :

Megah-kumuh, tinggi-rendah, bersih-kotor, lapang-sempit …

Ah … tiap perempatan selalu saja sama. Menawarkan segalanya sebagai pilihan. Yang manakah? Mata batin, masih saja terpasung.


“HIDUP, KADANG_KADANG MASIH MENYISAKAN MISTERI DALAM DIRINYA.”

Sunday, March 18, 2007

Heart of The Sword


With a daybreak like this, I feel as if
I can cross the distant tomorrow alone.
If I keep fighting against my emotions, they'll break down
And they'll cross paths again tonight.

Everything is too extreme; even the marks left behind by all my efforts are
only reducing results, and as much as I try to walk that tight rope,
I only end up a loser every day.
It'd be easier for me to just take a cynical attitude.

Burning like Hell
Hiding myself
Living only a short time
With a daybreak like this, I feel as if
I can cross the distant tomorrow alone.

If I just leave it, my thoughts would race
and cross paths with my dreams again
The balance plate of my life isn't perfect.
Wonder if the plus and minus really add up to zero?

I'll make the most of my luck, 'till I die,
so at least let me determine how much I give and take on my own.
I don't understand,
although you can
change your logic at your will.

No matter how many times I stumble because of you,
I will always return to love.
The strength that comes from being hurt is unbelievable!
I won't sleep well again tonight.


No matter how many times it repeats itself,
I will always return, because it's love.
Still fighting against and blaming these feelings I can't extinguish
would be an even bigger mistake

With a daybreak like this, I will
cross the distant tomorrow alone.
We have something that goes deeper than affection,
so I don't mind if we disagree.

Tuesday, March 13, 2007

8 tahun 3 bulan [sebuah catatan perbaikan diri]

8 tahun 3 bulan…ya. Sekian lamanya putaran detik telah kulalui sejak terakhir kali kudengar suaranya. Suara yang selalu mengingatkanku akan ketegasan sebuah ideologi. Suara yang penuh dengan keyakinan akan makna perjuangan dan kemandirian. Yang tak mau menyerah pada keadaan, untuk suatu prinsip dan nilai hidup yang telah membentuk karakter jiwanya menjadi seseorang yang tegar.

8 tahun 3 bulan…ya. Sepanjang rentang waktu itu, tak lagi kulihat sosoknya melangkah dengan bantuan tongkat dan baju koko serta kopiah hitam yang jarang lepas dari kepalanya. Sosok yang panas dan hujan tak menyurutkan ayunan kakinya untuk bersegera ke masjid, berpacu dengan suara adzan yang keluar dari speaker tua menara masjid 150 meter dekat rumah.

8 tahun 3 bulan…ya. Selama itu tak kudapati lagi sorot tajam matanya, yang memancarkan kekhawatiran kala melihatku masih saja bergelung di tempat tidur sementara adzan subuh sudah mengalun. Tak kurasakan lagi sakitnya bilah bambu yang ‘mampir’ di kedua betisku saat dia mengetahui belum satupun ayat suci Al-Qur’an kulafadzkan tiap hari . Ataukah saat tak mendapati sosokku berada di barisan shalat berjamaah di masjid. Tak kudengar lagi nasehat tegas dari mulutnya, kala melihatku sedikit enggan membantu ibu ketika beliau meminta tolong.

Aku ingat. Aku ingat semua kemarahannya tiap kali mendapat laporan tentang kenakalanku., tentang kebiasaanku pulang larut ke rumah, atau tentang teman dan lingkungan pergaulanku.
Aku ingat. Malam ketika dia berbincang dengan ibu dan my old brother, dan berkata bahwa aku harus diapakan lagi agar pola sikapku bisa berubah. Bahkan dia hampir yakin, bahwa hanya di pesantren aku bisa menjadi lebih baik dan terarah. Namun mereka berdua meyakinkannya bahwa di manapun, setiap orang bisa berubah menjadi baik. Tidak mutlak harus di pesantren. Di perguruan tinggi negeri pun, ketika ada keinginan dan hidayah, setiap orang bisa menjadi lebih baik dari yang sekarang.

Aku ingat. Bahkan sangat ingat. Saat kemarahan puncaknya mencapai limit. Waktu itu pertama kalinya kutantang menatap matanya yang marah, dan membalas kata-kata nasehatnya dengan argumen dan logikaku. Dan kudapati bening air di sudut matanya. Dan aku juga ingat, saat dia meminta kepada my old brother untuk menjagaku jika waktunya kelak, aku berhasil diterima di perguruan tinggi dan sosokku jauh dari pengawasannya.

Ah…mengingatnya, selalu saja membuat mataku mengembun. Aku paham, semua kemarahan dan kekhawatirannya semata hanyalah tanda cinta kasihnya pada sosokku. Bukan kebencian seperti yang selama ini pernah kuambil sebagai sebuah kesimpulan. Karena satu nasehatnya yang sampai sekarang tak pernah hilang dari memoriku adalah saat ia mengatakan, ‘setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban dan saya adalah pemimpin di rumah tangga ini. Saya tidak ingin masuk neraka karena gagal memimpin seorang anak yang sejatinya adalah amanah dari-Nya.’

Bapak…sungguh, kurindukan lagi sosok tegarmu. Kurindukan lagi nasehat-nasehat tegasmu. Kurindukan lagi tajam matamu tiap kali mendidikku. Bahkan sungguh, kurindukan lagi pukulan bambu di betisku, sama seperti dulu saat aku malas menunaikan shalat jamaah, utamanya subuh di masjid. Sungguh, kurindukan semua itu.

Maafkan anakmu, yang baru mengerti sedikit tentang makna cinta dan kasih sayang. Maafkan anakmu yang pernah berburuk sangka dengan semua tindakanmu. Maafkan anakmu yang belum juga sempurna mengabdi di jalan ideologi yang kau ajarkan. Maafkan anakmu yang terlambat mengetahui makna hidup yang kau ajarkan. Maafkan anakmu yang sangat minim baktinya pada keikhlasanmu…Maafkan.

Allah, ampunkan beliau. Sejahterakan dengan nikmat-Mu. Yang tak pernah pudar di telan masa. Lapangkan alam kuburnya. Terangilah dengan cahaya-Mu. Hindarkan dari fitnah kubur. Terimalah semua amal ibadahnya. Masukkanlah ke dalam syurga-Mu.
Berikan kesempatan lagi padaku, untuk mendatangi kuburannya. Duduk bersimpuh di depannya. Memohon maafnya. Kabulkan ya…Rabb.

ps :
- to teman-teman kampus : thanks untuk bimbingannya. Nilai yang kalian semua ajarkan telah mempengaruhi banyak untuk diriku yang sekarang. Semoga bernilai pahala di sisi-Nya
- to deen, mellow lagi yak? ^_^